Hidayat Nur Wahid
Dr. H. Muhammad Hidayat Nur Wahid, M.A. (lahir di Kebon Dalem Kidul, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, 8 April 1960; umur 54 tahun) adalah seorang dosen, politikus dan legislator Indonesia. Ia merupakan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat yang ke-11, menjabat dari Oktober 2004 hingga Oktober 2009, dan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat dari tahun 2004 hingga kini. Ia juga merupakan salah satu deklarator dan presiden kedua Partai Keadilan Sejahtera.
Lahir dari lingkungan keluarga Muslim taat di Jawa Tengah, ia belajar di Pondok Modern Darussalam Gontor dan kuliah di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta sebelum menempuh studi magister dan doktor di Universitas Islam Madinah. Karier politiknya dimulai setelah ikut mendeklarasikan berdirinya Partai Keadilan (PK) pada tanggal 20 Juli 1998. Kemudian, ia menjadi ketua partai tersebut sejak bulan Mei 2000, dan ikut berperan dalam mentransformasikan PK menjadi PKS pada bulan Juli 2003. Mundur dari jabatan presiden pada Oktober 2004 setelah terpilih menjadi wakil rakyat di DPR, ia kemudian terpilih pula menjadi Ketua MPR untuk periode 2004-2009. Pada tahun 2012, ia turut serta dalam pemilihan umum Gubernur DKI Jakarta sebagai calon gubernur dengan menggandeng Didik J. Rachbini dari Partai Amanat Nasional; namun pada putaran pertama, ia hanya menempati peringkat ketiga di bawah Joko Widodo dan Fauzi Bowo, sehingga gagal lolos ke putaran kedua. Menjelang pemilihan umum presiden Indonesia 2014, ia menjadi salah satu kandidat calon presiden dari PKS.
Daftar isi
- 1 Kehidupan awal
- 1.1 Masa kecil dan remaja
- 1.2 Masa kuliah
- 2 Karier dakwah
- 3 Karier politik
- 3.1 Memimpin PK dan PKS (2000-2004)
- 3.2 Ketua MPR (2004-2009)
- 3.3 Ketua BKSAP dan memimpin PKS di parlemen (2009-kini)
- 3.4 Pemilihan gubernur Jakarta (2012)
- 3.4.1 Program kerja
- 3.4.2 Kampanye
- 3.4.3 Hasil
- 3.5 Calon presiden 2014
- 4 Pemikiran dan pandangan politik
- 5 Penghargaan
- 6 Kehidupan pribadi
- 7 Referensi
- 8 Pranala luar
Kehidupan awal
Masa kecil dan remaja
Hidayat lahir di Dusun Kadipaten Lor, Kebon Dalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara pada tanggal 8 April 1960. Pendidikan formal dimulainya dari SD Negeri Kebondalem Kidon, lulus pada tahun 1972.
Ketertarikan mendalami Islam membuatnya mendaftar ke Pondok Pesantren Wali Songo di Ngabar, Siman, Ponorogo, sebelum melanjutkan pendidikannya di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, lulus tahun 1978.
Selama di bangku sekolah, Hidayat sudah gemar berorganisasi. Dia menjadi salah satu staf koordinator kesekretariatan Pramuka di Gontor pada tahun 1978, ketika duduk di kelas lima pesantren tersebut. Dia juga tercatat sebagai anggota Pelajar Islam Indonesia (PII).
Masa kuliah
Setelah lulus dari Gontor pada tahun 1978, Hidayat mendaftar masuk ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Meskipun Hidayat sebelumnya ingin melanjutkan kuliahnya di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, tetapi dia kemudian memutuskan untuk mendalami ilmu agama Islam. Dia memilih masuk fakultas syariah dan sempat mengikuti pelatihan kaderisasi Himpunan Mahasiswa Islam di kampus tersebut.
Setahun kemudian, Hidayat mendapat beasiswa untuk studi sarjana di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi. Dia memilih masuk ke fakultas dakwahdan ushuluddin, dan lulus dengan predikat cum laude pada tahun 1983. Setelah lulus sarjana, ia melanjutkan pendidikan hingga ke jenjangmagister (lulus 1987) dan doktor (lulus 1992) di universitas yang sama. Di Madinah, ia aktif berorganisasi hingga terpilih sebagai Ketua Persatuan Pelajar Indonesia Arab Saudi periode 1983-1985.
Karier dakwah
Pulang ke Indonesia setelah merampungkan studinya di tanah Arab, Hidayat mulai terlibat aktif dalam Gerakan Tarbiyah dan ikut mendirikan Yayasan Alumni Timur Tengah. Dia turut mendirikan Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) di bawah Yayasan al-Haramain, dan di situ dia menjadi ketuanya dan juga menjabat sebagai redaktur jurnal Ma’rifat yang diterbitkan oleh lembaga tersebut, untuk mengimbangi peredaran jurnal-jurnal yang menyuarakan pembaharuan Islam yang dipimpin tokoh sepertiNurcholish Madjid (Cak Nur).
Hidayat menjadi dosen studi Islam di Universitas Muhammadiyah Jakarta, dosen pascasarjana diUniversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga di Universitas asy-Syafi’iyah. Dia juga turut aktif dalam gerakan dakwah Tarbiyah yang mulai marak di kampus-kampus Indonesia pada era 1980-an, terutama setelah pulangnya para mahasiswa dari negeri-negeri Arab seperti Salim Segaf Al-Jufri, Yusuf Supendi, dan Mustafa Abdul Rahman. Gerakan inilah yang kelak melahirkan Lembaga Mujahid Dakwah, Lembaga Dakwah Kampus, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia dan kelak, Partai Keadilan Sejahtera.
Hidayat juga terlibat aktif di berbagai forum dakwah, seperti Forum Dakwah Islam dan ketua koordinator tim agama di Forum Indonesia Damai yang digagas tokoh lintas agama seperti Cak Nur, Ahmad Syafii Maarif, Franz Magnis Suseno dan Asmara Nababan.
Selain itu, selama masih aktif menjabat sebagai ketua MPR, Hidayat pernah menjadi narasumber tetap dalam acara Titian Semangat di stasiun televisi RCTI. Acara yang dibawakan oleh Irfan Hakim tersebut mengulas masalah-masalah kemasyarakatan dari perspektif Islam.
Karier politik
Memimpin PK dan PKS (2000-2004)
Setelah bergulirnya reformasi, Hidayat menjadi salah satu deklarator Partai Keadilan yang dideklarasikan di Jakarta pada tanggal 20 Juli 1998. Ia menolak tawaran menduduki posisi presiden, namun terpilih menjadi Ketua Dewan Pendiri dan menerima pelantikan menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Partai dan Ketua Dewan Syariah, satu tingkat di atas presiden.
Hidayat mulai dikenal luas ketika dia terpilih menjadi presiden PK pada tanggal 21 Mei 2000, menggantikan pemangku jabatan sebelumnya, Nurmahmudi Ismail yang ditunjuk menjadi Menteri Kehutanan dan Perkebunan oleh Presiden Gus Dur. Hidayat terpilih lewat mekanisme Musyawarah Nasional, menyisihkan dua kandidat lain, Anis Matta dan Irwan Prayitno dan menerima jabatan tersebut dari pejabat presiden, Untung Wahono.
Pada masa-masa awalnya, Hidayat dihadapkan pada masalah kegagalan PK untuk memenuhi ambang batas parlemen yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mengikuti pemilu 2004. Pada awalnya, Hidayat berusaha untuk mendesak DPR mengkaji kembali UU no. 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum yang menjadi penghalang tersebut, sebelum akhirnya PK memutuskan untuk berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera terhitung mulai 2 Juli 2003.
Ketua MPR (2004-2009)
Sempat digadang-gadang menjadi calon presiden, Hidayat mencalonkan diri untuk kursi DPR lewat daerah pemilihan DKI Jakarta II pada pemilihan umum 2004, dan terpilih mewakili PKS dengan meraih 262.019 suara, tertinggi di dapilnya.
Ia diajukan sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat lewat Koalisi Kerakyatan yang diusung fraksi PKS, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Persatuan Pembangunan. Hidayat didampingi tiga orang calon wakil ketua, yaitu AM Fatwa (anggota DPR dari PAN), Aksa Mahmud (anggota DPD) dan Mooryati Soedibyo (anggota DPD). Paket ini akhirnya terpilih menjadi pimpinan MPR setelah mendapat 326 suara, hanya berbeda dua angka dengan Koalisi Kebangsaan yang mengusung politisi Sutjipto asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai calon ketua dan Theo L. Sambuaga dari Golkar sebagai calon wakil ketua. Hidayat dilantik pada 20 Oktober 2004, di hadapan sidang paripurna MPR.
Hidayat tercatat sebagai pejabat tinggi negara dengan kekayaan terkecil, yaitu hanya sebesar Rp. 233 juta dan 15 ribu dolar Amerika Serikat, menurut data yang diumumkan Komisi Pemberantasan Korupsi pada bulan Desember 2004.
Selama menjabat, Hidayat sempat beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang cukup kontroversial, seperti menyerukan pengadilan in-absentia terhadap mantan presiden Soeharto dan meminta Majelis Ulama Indonesia untuk mengeluarkan fatwa pengharaman golput.
Ketua BKSAP dan memimpin PKS di parlemen (2009-kini)
Meskipun kembali terpilih ke DPR pada pemilihan umum legislatif Indonesia 2009 mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah V (meraih 106.251 suara, tertinggi kedua setelah Puan Maharani), Hidayat tak lagi menjabat sebagai Ketua MPR. Posisi tersebut dijabat oleh Taufik Kiemas dari PDI-P.
Ia menjabat sebagai Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR dari 22 Oktober 2009 hingga 22 Mei 2012, ketika digantikan oleh Surahman Hidayat karena pencalonannya di pemilihan gubernur DKI Jakarta. Selama masa kepemimpinan Hidayat sebagai Ketua BKSAP, Indonesia dipercaya sebagai pimpinan Persatuan Parlemen Negara Anggota Organisasi Konferensi Islam.
Setelah kegagalannya di putaran pertama pemilihan gubernur Jakarta, Hidayat kemudian dipercaya menjadi ketua fraksi PKS di DPR, menggantikan Mustafa Kamal mulai 25 September 2012.
Pemilihan gubernur Jakarta (2012)
Awalnya, Hidayat tak pernah muncul dalam bursa kandidat gubernur DKI Jakarta pada pemilihan tahun 2012, karena ia sendiri sempat mengajukan pasangan Joko Widodo dan Triwisaksana, Wakil Ketua DPRD DKI dari PKS sekitar bulan Maret 2012. PKS berhak memajukan calon sendiri dalam arena pemilihan karena memiliki 15 kursi di DPRD DKI Jakarta.
Walau bagaimanapun, rumor tentang majunya ia ke pertarungan memperebutkan kursi gubernur sudah berhembus beberapa hari sebelumnya. Ia akhirnya secara resmi ditunjuk oleh partai sebagai calon gubernur, dan dipasangkan dengan Didik J. Rachbini, kader Partai Amanat Nasional sebagai calon wakil gubernur. Pasangan ini mendapat nomor urut empat.
Program kerja
Antara program kerja pasangan Hidayat-Didik adalah:
- Pemberian insentif kepada pengurus rumah ibadah,
- Kenaikan gaji Ketua Rukun Tetangga dan Rukun Warga dan pembayaran gaji setiap bulan,
- Membuka sekitar 500 ribu lapangan kerja, terutama untuk untuk pendatang yang datang ke Jakarta dengan mendirikan pabrik-pabrik baru, bekerjasama dengan pemerintah pusat,
- Perlindungan terhadap perempuan agar terhindar dari tindakan kriminalitas dan pelecehan seksual,
- Pengatasan banjir dengan cara membuat danau-danau tadahan dengan bekerjasama dengan pemerintah daerah di sekitar Jakarta, seperti Kota Bogor dan Kota Depok,
- Pembangunan rumah susun untuk warga yang tergusur dari bantaran sungai,
- Menciptakan Jakarta sebagai kota yang bersahabat terhadap bisnis dan penanaman modal dengan tujuan untuk memperbesar Pendapatan Asli Daerah, yang nantinya digunakan untuk meningkatkan jumlah APBD Provinsi dan juga disalurkan ke warga miskin,
- Memperbanyak taman, hutan kota dan ruang terbuka hijau,
- Pembangunan dan pengembangan transportasi massal seperti bus, kereta bawah tanah dan kereta komuter,
- Penambahan jumlah armada TransJakarta dan perluasan koridornya,
- Santunan jiwa sebesar Rp. 2,5 juta untuk warga yang meninggal dunia,
- Pelaksanaan ujian kelayakan kendaraan yang ketat untuk mengurangi emisi gas buang.
Kampanye
Pasangan ini menyiapkan sekitar Rp 53 miliar untuk kampanye, dan menyatakan siap melakukan transparansi dana kampanye. Sebelumnya, Hidayat menyatakan setuju terhadap wacana pembatasan dana kampanye. Hidayat juga menyatakan pengharaman terhadap politik uang selama pemilihan berlangsung.
Hidayat-Didik menggelar kampanye perdana pada 25 Juni di GOR Lokasari, Taman Sari, Jakarta Barat, dimana Hidayat sempat melontarkan pantun dalam bahasa Betawi untuk menyapa warga yang hadir. Kampanye ini tercatat dipenuhi wanita dan anak-anak. Hidayat kemudian bersilaturrahim dengan para ulama dan habib di Jakarta, termasuk dengan organisasi-organisasi Islam seperti Al-Irsyad dan Front Pembela Islam.
Hidayat juga sempat berkampanye naik motor sport di Jakarta Utara pada 27 Juni, sementara sekitar sepuluh ribu orang tercatat memenuhi kampanye mereka di GOR Otista, Jatinegara pada 29 Juni. Pasangan ini juga menggelar kampanye di Stadion Soemantri Brodjonegoro pada tanggal 1 Juli, yang disesaki oleh kader dua partai pendukung, yaitu PKS dan PAN. Di hari-hari terakhir kampanye, Hidayat sempat bertemu dengan kalangan buruh di Cakung, Jakarta Timur yang menyatakan dukungan mereka terhadapnya.
Selama kampanye berlangsung, pasangan ini berkali-kali mendapat serangan. Hidayat sempat dilarang berkhutbah di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu pada 4 Mei oleh pihak kelurahan setempat. Pasangan ini juga mendapat kampanye hitam oleh oknum yang diduga dari Dinas Sosial DKI Jakarta, mengampanyekan “PKS anti maulid, PKS anti tahlil” menggunakan pengeras suara di Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Relawan pasangan ini ditodong pistol oleh aparat yang tidak diketahui, dan salah satu rumah relawan bahkan dilempari bom molotov oleh orang yang tidak dikenal.
Hidayat dan Didik kemudian memimpin langsung penertiban atribut kampanye mereka pada hari terakhir kampanye, 7 Juli.
Hasil
Pasangan Hidayat-Didik meraih posisi ketiga pada putaran pertama pemilihan gubernur yang dilaksanakan pada 11 Juli. Pasangan ini mendapat total 508,113 suara, atau 11,72% dari total seluruh suara sah. Mereka berada di bawah pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang menduduki posisi pertama dan kedua secara berturut-turut dan lolos ke pemilihan putaran kedua.
Setelah pemilihan, Hidayat menyatakan mendukung pasangan Foke-Nara dan menyatakan kecewa dengan Joko Widodo (saat itu masih merupakan Wali Kota Surakarta), yang ia anggap kurang berkomitmen menyelesaikan masa jabatannya sebagai wali kota. Pilihan ini sempat menuai reaksi tajam dari publik, termasuk dari budayawan Ridwan Saidi yang mengingatkan bahwa Hidayat pernah menyerang habis-habisan Foke.
Calon presiden 2014
Hidayat terpilih menjadi salah satu dari 22 peserta pemilihan raya untuk mewakili PKS di pemilihan umum presiden Indonesia 2014 pada 21 November 2013.
Dalam pemilihan yang digelar pada tanggal 28 dan 29 Desember ini, ia berhasil menjadi pemuncak dalam pemilihan ini dengan mengumpulkan total 50.567 suara dan unggul di empat belas provinsi. Hidayat sendiri mengaku kaget dengan hasil pemilihan tersebut, tetapi menyatakan siap untuk bersaing dengan siapapun dalam rangka memperebutkan kursi kepresidenan, termasuk dengan mantan lawannya di Jakarta, Joko Widodo.
Walaupun memenangi pemilihan raya, Hidayat belum tentu akan menjadi calon presiden dari PKS, mengingat hasil pemilihan akan dibawa ke Majelis Syura yang berwenang menetapkan hal tersebut. Majelis Syura baru menetapkan tiga orang kandidat capres dari PKS, yaitu Hidayat, Anis Matta dan Ahmad Heryawan pada awal bulan Februari 2014. Ketiganya akan menjalani uji publik untuk menilai penerimaan masyarakat sebelum satu orang ditetapkan sebagai capres yang akan diusung oleh PKS.
Pemikiran dan pandangan politik
Seorang doktor lulusan Arab Saudi, Hidayat dikenal memegang teguh ideologi Islam moderat. Ia menyatakan Pancasila sebagai ideologi negara yang wajib dipatuhi, dan mengusulkan perlunya ada Atase Agama untuk kedutaan-kedutaan besar di beberapa negara tertentu. Saat terjadinya kudeta yang menjatuhkan Presiden Mesir Muhammad Mursi (yang notabene berasal dari partai yang didominasi oleh anggota Ikhwanul Muslimin, organisasi yang merupakan rujukan utama gerakan dakwah PKS) oleh pihak militer dan pembunuhan besar-besaran warga sipil yang menolak kudeta pada pertengahan 2013, Hidayat menyatakannya sebagai “kejahatan demokrasi” dan menyerukan militer Mesir untuk “belajar dari Indonesia”. Namun, ketika Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dinyatakan sebagai tersangka, Hidayat menduga bahwa hal tersebut merupakan konspirasi yang mungkin melibatkan Zionis karena menurutnya PKS sering membantu Palestina.
Sejak Juni 2012, Hidayat duduk di Liga Muslim Dunia sebagai perwakilan Indonesia.
Sebagai Ketua MPR, Hidayat mendukung RUU Pornografi (dimana PKS menjadi salah satu pendukung utamanya), dan menyatakan RUU tersebut tidak bertujuan memberangus kreasi seni. Ia juga berpendapat perlunya undang-undang yang mengatur peredaran minuman keras, tetapi menolak berkomentar mengenai pelarangan konser Lady Gaga yang disuarakan oleh partainya, PKS.
Hidayat juga mempromosikan kerukunan beragama, dibuktikan dengan kesiapannya merangkul umat Katolik dalam membangun Jakarta jika terpilih menjadi gubernur, dan mengajak rakyat untuk menciptakan kehidupan beragama yang “indah dan berseni”.
Ia juga terkenal sebagai salah satu wakil rakyat yang vokal dalam menyuarakan pencegahan korupsi. Bersama beberapa tokoh nasional seperti Amien Rais dan Gus Dur, Hidayat mendeklarasikan Komite Penyelamat Kekayaan Negara pada 28 Juli 2008. Hidayat juga angkat suara saat terjadinya perseteruan antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi pada bulan Desember 2012, mendesak Polri untuk merelakan penyidiknya yang bertugas di KPK. Hidayat juga turut mendesak KPK untuk menyelidiki dugaan korupsi dana haji di Kementerian Agama Republik Indonesia.
Ketika kasus suap menimpa Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq, Hidayat dengan sinis menganjurkan para koruptor untuk “menggasak lebih banyak uang negara” agar bisa mendapatkan hukuman yang lebih ringan, sebagai bentuk protesnya terhadap putusan pengadilan yang memvonis Luthfi kurungan 16 tahun dan denda Rp. 1 miliar pada Desember 2013. Namun begitu, Hidayat mengimbau pada kader PKS untuk memenuhi panggilan KPK dan mengklaim bahwa partainya selalu bersikap kooperatif dalam usaha pemberantasan korupsi.
Hidayat juga pernah mengingatkan Indonesian Corruption Watch untuk “tidak mengorupsi kebenaran” terkait penyebutan sejumlah nama kader PKS sebagai politisi yang diragukan komitmennya dalam pemberantasan korupsi.
Penghargaan
Hidayat mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden SBY di Istana Negara, Jakarta pada 15 Agustus 2009 dalam rangka peringatan proklamasi kemerdekaan tahun 2009.
Kehidupan pribadi
Dilahirkan dari keluarga yang termasuk golongan pemuka agama dan guru, kakek Hidayat dari pihak ibu berafiliasi kepada organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah, sementara ayahnya, H. Muhammad Syukri, seorang guru lulusan IKIP Yogyakarta, juga menjadi pengurus di organisasi tersebut. Siti Rahayu, ibunda Hidayat, merupakan aktivis Aisyiyah, sayap kewanitaan Muhammadiyah dan seorang guru Taman Kanak-kanak.
Hidayat merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara. Saudara-saudarinya yang lain bernama Muhammad Agung Nugroho, Mabrur Dewantoro, Istiqomah, Ahmad Wiladi, Ahmad Wisanggeni, dan Sapti Swastanti. Ahmad Wisanggeni dan istrinya Nurus Baiti berdomisili di Banda Aceh sejak tahun 1997 dan wafat dalam bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda kota tersebut pada akhir Desember 2004.
Dari pernikahannya dengan Hj. Kastiyan Indriyati, Hidayat dikaruniai empat orang anak: Inayatu Dzil Izzati, Ruzaina, Alla Khairi, dan Hubaib Shidiqi. Istri pertamanya meninggal dunia pada tanggal 22 Januari 2008 di Yogyakarta.
Hidayat kemudian menikah dengan Diana Abbas Thalib, seorang dokter. Pernikahan keduanya berlangsung di Taman Mini Indonesia Indah pada 11 Mei 2008, dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertindak selaku saksi untuk mempelai pria dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai saksi untuk mempelai wanita. Diana Abbas Thalib melahirkan anak kembar di Jakarta pada tanggal 15 April 2009.